Hijau identik dengan alam dan lingkungan hidup. Investasi hijau adalah
penanaman modal yang berselaras, sesuai dan adanya keseimbangan dengan alam dan
lingkungan hidup (eco friendly). Makna lain adalah penanaman modal yang
dilakukan oleh para investor yang secara prosudur, operasional produksi, hasil
produksi dan sisa hasil produksinya tidak mengganggu keseimbangan ekosistem alam
dan lingkungan hidup yang tidak mengganggu ekosistem dan keseimbangan alam dan
lingkungan. Awal kepedulian terhadap lingkungan hidup diawali sejak tahun 1970
an sejak dampak industrialisasi mengakibatkan semakin panasnya iklim bumi.
Sehingga dikembangkan model-model thenologi hijau (green technology),ekonomi
hijau (green economy) dan investasi hijau (green investments).
Konsepnya semua kegiatan tersebut diatas berdasarkan keramahan terhadap alam dan
lingkungan hidup.
Bagaimana pengertian investasi hijau secara universal?
Investasi hijau dihubungkan dengan industry hijau adalah secara bahan baku
harus menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Dalam proses produksi
menerapkan konsep reduce, reuse, recycle and recovery, menggunakan
teknologi ramah lingkungan, serta mempekerjakan sumber daya manusia yang
berkompetensi tinggi, efisien, dan berwawasan lingkungan. Dari sisi hasil
produksi menghasilkan produk produk yang ramah lingkungan dan mampu menekan
jumlah emesi karbon dan menimalisir sampah. Contoh industri yang ramah
lingkungan adalah mencakup pertanian, kehutanan, perikanan, pengusahaan tenaga
panas bumi, industri penghasil produk ramah lingkungan, pembangkit listrik dari
sumber energi baru/terbarukan, dan pengelolaan sampah.
Seperti yang dikemukan oleh Kepala BKPM bahwa dalam lima tahun terakhir,
realisasi investasi langsung sektor industri hijau di Indonesia mencapai USD 41
miliar. Sepanjang 2010-2013, pertumbuhan rata-rata sekitar 23 persen untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) dan 42 persen untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Diperkirakan akan tercipta realisasi investasi setidaknya sebesar USD
100 miliar hingga tahun 2019 di ketujuh sektor tersebut di Indonesia.
Dalam pengembangan industry hijau tersebut menurut Frangky Simbarani ketua
BKPM ada tiga tantangan. Yakni pertama, industri di Indonesia masih menggunakan
teknologi lama yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, teknologi yang
digunakan industri di Indonesia juga dirasa belum diremajakan sehingga
manufaktur di Indonesia dirasa belum cukup untuk bisa bertumbuh sesuai dengan
green industry. Kedua, kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang terbatas.
Kekurangan dukungan fasilitas keuangan dengan kebutuhan industri nasional.
Ketiga, insentif dan dukungan dalam green industry di Indonesia yang kurang
padahal investasi dalam green industry tergolong mahal. Untuk itu, dibutuhkan
dukungan insentif dari pemerintah untuk mendukung hal tersebut. Ketiga
dibutuhkan insentif dari pemerintah untuk mendukung green industry seperti
fasilitas fiskal dan nonfiskal
Pengembangan Energi Baru Terbarukan. Terkait realisasi investasi, sekitar 30
persen program investasi hijau terkait dengan sektor energi, termasuk listrik,
geothermal, dan biofuel. Pengembangan program energi terbarukan di Indonesia
diperkirakan akan membutuhkan biaya sebesar Rp. 10,3 triliun.
Kemudahan prosudur bagi investor pembebasan perpajakan dan impor
Kemudahan dalam perpajakan dan impor karena alasan mahanya investasi hijau,
Pemerintah akan memberi berbagai insentif dan kemudahan bagi pengembangan
investasi hijau, termasuk merevisi jumlah kriteria industri yang berhak untuk
mendapatkan tax allowance dari 129 menjadi 143, serta pemberian tax holiday
untuk pengembangan usaha pengusahaan tenaga panas bumi, industri pemurnian dan
pengolahan gas alam, industri lampu tabung gas (LED), pembangkit tenaga listrik,
pengadaan gas alam dan buatan, serta pengembangan angkutan perkotaan yang ramah
lingkungan, biofuel dan sumber energi terbarukan.
Selain fasilitas tersebut, pemerintah turut memberikan fasilitas non fiskal
untuk industri hijau yang mencakup pelayanan satu pintu (one stop service) untuk
perizinan investasi, serta penyederhanaan perizinan dengan membuka pintu bagi
investor baru baik local adan asing untuk turut ambil bagian dalam proyek energi
baru terbarukan dalam rangka untuk mengembangkan penggunaan energi terbarukan di
Indonesia, yang membutuhkan dana hingga US$ 135 milyar.
Jumlah dana tersebut dinilai sesuai mengingat target pemerintah untuk
meningkatkan peran energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional tahun
2025 menjadi 23 persen yang terdiri atas panas bumi sebesar 7 persen (US$ 39
miliar), bioenergi 10 persen (US$ 54 miliar), Hidro 3 persen (US$ 27 miliar),
serta energi baru terbarukan lainnya sebesar 3 persen (US$ 13 miliar). Tingkat
persentasi energi baru terbarukan pada saat ini adalah sebesar 6 persen,
sehingga perlu adanya peningkatan sebesar 17 persen dalam waktu 10 tahun.