ArticleTax  Pengkreditan Pajak Masukan
Minggu, 2 Februari 2014
Tax
Seri Update Faktur Pajak dan Peraturan PPN
Pengkreditan Pajak Masukan
by: Prianto Budi Saptono
Foto Pengkreditan Pajak Masukan

6. Pengkreditan Pajak Masukan

Pedoman pengkreditan Pajak Masukan diatur di dalam Pasal 9 UU PPN. Berikut ini adalah uraian ringkasnya.

A. Pedoman Pengkreditan

  1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
  2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. Dalam hal Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian, pajak tersebut wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, yang saat, penghitungan dan tata caranya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu 81/PMK.03/2010 tentang saat penghitungan dan tata cara pembayaran kembali pajak masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian bagi pengusaha kena pajak yang mengalami keadaan gagal berproduksi.
  3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN.
  4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
  5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Kelebihan Pajak Masukan tersebut juga dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Dikecualikan dari ketentuan tersebut, atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
    1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
    2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
    3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
    4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dalam rangka menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean;
    5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
    6. Pengusaha Kena Pajak yang ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya; dan/atau
    7. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.
  6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
  7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, selain melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pengusaha Kena Pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Per.Menkeu No. 78/PMK.03/2010 tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak.
  8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh dan perubahannya, dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  9. Besarnya Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu selain pengusaha yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dan kegiatan usaha tertentu ini diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu PerMenkeu No. 79/PMK.03/2010. Kegiatan Usaha Tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan :
    1. penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau
    2. penyerahan emas perhiasan secara eceran
  10. Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PerMenkeu No. 71/PMK.03/2010 dan 72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010).
  11. Dalam hal terjadi penggabungan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pengalihan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya penggabungan usaha dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
  12. Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

B. Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan

Menurut Pasal 9 ayat (8) UU PPN, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur di atas bagi pengeluaran untuk:

  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  5. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 13 ayat (9) UU PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  6. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan formal dan material;
  7. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  8. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
  9. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi.

C. Tanggung Jawab Renteng Kembali Berlaku

  1. Pasal 33 UU KUP 2000 (berlaku 2001-2008)

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.

Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa

  1. Pasal 16F UU PPN 2009 (berlaku mulai April 2010)

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.

Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

Profil Penulis

Banner training Tax
Artikel lainnya
Foto Faktur Pajak (FP)
Sabtu, 1 Februari 2014
Foto Tarif PPN serta Dasar Pengenaan Pajak
Jumat, 31 Januari 2014
Foto Pengusaha Kena Pajak
Kamis, 30 Januari 2014
Foto Objek PPN
Selasa, 28 Januari 2014
Foto Saat Pemotongan PPh Pasal 21
Senin, 27 Januari 2014
Foto Jenis-jenis Proyek
Senin, 27 Januari 2014
Artikel Terkait
Foto Faktur Pajak (FP)
Sabtu, 1 Februari 2014
Seri Update Faktur Pajak dan Peraturan PPN
Foto Tarif PPN serta Dasar Pengenaan Pajak
Jumat, 31 Januari 2014
Seri Update Faktur Pajak dan Peraturan PPN
Foto Pengusaha Kena Pajak
Kamis, 30 Januari 2014
Seri Update Faktur Pajak dan Peraturan PPN