
6. Pengkreditan Pajak Masukan
Pedoman pengkreditan Pajak Masukan diatur di dalam Pasal 9 UU PPN. Berikut
ini adalah uraian ringkasnya.
A. Pedoman Pengkreditan
- Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
dalam Masa Pajak yang sama.
- Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan. Dalam hal Pajak Masukan yang telah dikreditkan
dan telah diberikan pengembalian, pajak tersebut wajib dibayar kembali oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal
berproduksi, yang saat, penghitungan dan tata caranya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu 81/PMK.03/2010 tentang saat
penghitungan dan tata cara pembayaran kembali pajak masukan yang telah
dikreditkan dan telah diberikan pengembalian bagi pengusaha kena pajak yang
mengalami keadaan gagal berproduksi.
- Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13
ayat (9) UU PPN.
- Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
- Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Kelebihan Pajak Masukan tersebut juga
dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Dikecualikan dari
ketentuan tersebut, atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan
pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dalam
rangka menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah
Pabean;
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
- Pengusaha Kena Pajak yang ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya; dan/atau
- Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.
- Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah
Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
- Apabila dalam suatu Masa Pajak, selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak, Pengusaha Kena Pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat
diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Per.Menkeu No. 78/PMK.03/2010 tentang
pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang
melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang
pajak.
- Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang
dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh dan
perubahannya, dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
- Besarnya Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan kegiatan usaha tertentu selain pengusaha yang menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan. Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dan
kegiatan usaha tertentu ini diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, yaitu PerMenkeu No. 79/PMK.03/2010. Kegiatan Usaha Tertentu adalah
kegiatan usaha yang semata-mata melakukan :
- penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau
- penyerahan emas perhiasan secara eceran
- Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PerMenkeu No. 71/PMK.03/2010 dan
72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010).
- Dalam hal terjadi penggabungan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena
Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan pengalihan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima
pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya penggabungan
usaha dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi.
- Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
B. Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan
Menurut Pasal 9 ayat (8) UU PPN, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan
menurut cara sebagaimana diatur di atas bagi pengeluaran untuk:
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal
13 ayat (9) UU PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
formal dan material;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
- perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi.
C. Tanggung Jawab Renteng Kembali Berlaku
- Pasal 33 UU KUP 2000 (berlaku 2001-2008)
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang
tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah
pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah
seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung
jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak
yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan
pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa
- Pasal 16F UU PPN 2009 (berlaku mulai April 2010)
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah
pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Karena itu sudah
seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung
jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak
yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan
pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.